Pada akhir bulan Februari, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan yang signifikan. Sejumlah faktor eksternal dan internal berkontribusi pada koreksi ini, terutama sektor keuangan. Meskipun perbankan masih menunjukkan pertumbuhan positif, sentimen pasar tetap pesimis. Para eksekutif bank memberikan pandangan mereka tentang situasi ini dan mencoba memahami penyebab serta dampaknya.
Koreksi saham perbankan di IHSG tidak hanya disebabkan oleh faktor internal tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Likuiditas yang rendah di pasar ekuitas menjadi salah satu pemicu utama penurunan harga saham. Bankir-bankir menekankan bahwa tren ini tidak selalu mencerminkan kinerja perusahaan. Mereka menyatakan bahwa likuiditas pasar yang tipis bisa menjadi alasan utama untuk fluktuasi harga saham.
Berbagai faktor eksternal juga berperan dalam koreksi ini. Aksi jual oleh investor asing, rebalancing portofolio oleh investor institusional, dan volatilitas pasar global semakin memperburuk situasi. Ketidakpastian kebijakan domestik, seperti pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI), juga menambah ketidakpastian di kalangan investor. Ini dapat mempengaruhi persepsi risiko terhadap bank, meningkatkan biaya pendanaan, dan meredupkan minat investor untuk berinvestasi di sektor perbankan. Akibatnya, likuiditas dan valuasi saham bank dapat terpengaruh, memberikan tekanan pada profitabilitas bank.
Meskipun saham perbankan mengalami penurunan, beberapa eksekutif bank menjelaskan bahwa hal ini tidak mencerminkan kinerja fundamental perusahaan. Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menegaskan bahwa koreksi ini bukanlah masalah fundamental. Dia menambahkan bahwa rencana buyback atau pembelian kembali saham akan dilakukan untuk mengatasi koreksi harga BBNI. Selain itu, bank akan tetap konsisten dalam memperbarui strategi dan kinerja mereka kepada publik.
Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, juga menegaskan bahwa koreksi saham tidak ada hubungannya dengan kinerja perusahaan. Dia menjelaskan bahwa BCA telah mencatatkan laba bersih sebesar Rp 4,73 triliun secara bank only pada Januari 2025, tumbuh 5,8% yoy. Menurut Jahja, sentimen negatif investor lebih dipengaruhi oleh dampak global dan kondisi makroekonomi. Para eksekutif bank berusaha untuk menjaga stabilitas dan transparansi informasi agar investor dapat memahami situasi yang sebenarnya.