Pada Kamis (17/4/2025), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyelenggarakan diskusi kelompok fokus terkait Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Acara yang bertempat di Menara Kadin Jakarta Selatan ini mengusung tema tentang kesetaraan serta persaingan sehat dalam industri penyiaran masa kini. Para pembicara dari berbagai latar belakang, termasuk pemerintah, akademisi, dan praktisi media, hadir untuk memberikan masukan komprehensif guna menyesuaikan regulasi dengan perkembangan teknologi digital.
Dalam sebuah langkah strategis, Kadin Indonesia memprakarsai Focus Group Discussion (FGD) yang bertujuan untuk merevisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Perhelatan ini diselenggarakan di Menara Kadin Indonesia pada hari Kamis, 17 April 2025, di pusat ibu kota Jakarta. Diskusi yang dipandu oleh tokoh-tokoh penting dari berbagai sektor membahas relevansi hukum penyiaran di era konvergensi digital.
Berbagai narasumber turut hadir, antara lain Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kemkomdigi Edwin Hidayat Abdullah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Ubaidillah, serta para ahli akademik seperti Nina Mutmainnah dari Universitas Indonesia. Inisiatif ini didorong oleh Dewan Pengurus Kadin Indonesia dibawah kepemimpinan Erwin Aksa dan Clarissa Tanoesoedibjo. Mereka menekankan pentingnya harmonisasi aturan agar tetap relevan dengan transformasi teknologi yang sedang berlangsung.
Acara ini juga melibatkan pelaku industri, asosiasi profesional, dan perwakilan platform media digital. Chris Taufik, salah satu penggagas acara, menjelaskan bahwa FGD ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dalam ekosistem penyiaran. Dengan adanya kolaborasi lintas sektor, diharapkan RUU dapat menjadi landasan kuat bagi kemajuan industri penyiaran nasional.
Meskipun revisi RUU Penyiaran telah menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2025, hasil rekomendasi dari FGD ini akan disampaikan secara resmi kepada Komisi I DPR dan Kementerian Komunikasi dan Digital.
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi internet, kebutuhan akan regulasi baru semakin mendesak. Diskusi ini menjadi langkah awal yang signifikan untuk menjamin bahwa undang-undang penyiaran tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga adaptif terhadap dinamika sosial dan teknologi.
Dari sudut pandang jurnalistik, inisiatif Kadin Indonesia ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan inklusif dalam menyusun regulasi. Diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan tidak hanya mencerminkan transparansi, tetapi juga menegaskan perlunya sinergi antara pemerintah, akademisi, dan industri dalam menciptakan kebijakan yang berkelanjutan.
Bagi pembaca atau masyarakat umum, langkah ini memberikan harapan bahwa regulasi penyiaran di masa depan tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan pasar, tetapi juga menjaga prinsip etika dan kualitas informasi. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih percaya bahwa konten-konten yang mereka konsumsi telah melewati standar yang adil dan sesuai dengan perkembangan zaman.