Bukti Kelas Menengah RI Makin Susah, Terlihat dari Transaksi QRIS

Sep 8, 2024 at 7:30 AM

Waspada Dampak Penurunan Kelas Menengah Indonesia

Jutaan warga kelas menengah di Indonesia rentan 'turun kasta' ke kelas menengah rentan hingga kelompok rentan miskin. Hal ini bahkan terlihat dari transaksi QRIS yang melandai di beberapa bank. Dampak penurunan daya beli kelas menengah ini memicu kekhawatiran akan terjadinya kemerosotan ekonomi yang lebih luas.

Semakin Banyak Warga Kelas Menengah Tergerus Kemiskinan

Tren Penurunan Kelas Menengah

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Pada 2019, jumlah kelas menengah tercatat 57,33 juta orang atau 21,45% dari total penduduk. Namun, dalam lima tahun ke depan, jumlah tersebut diprediksi hanya tersisa 47,85 juta orang atau 17,13% dari total penduduk. Artinya, ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.Di sisi lain, kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class justru mengalami peningkatan, dari 128,85 juta orang atau 48,20% dari total penduduk pada 2019, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk pada 2024. Selain itu, kelompok masyarakat rentan miskin juga ikut membengkak, dari 54,97 juta orang atau 20,56% pada 2019, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024.

Transaksi QRIS Menurun Tajam

Fenomena penurunan kelas menengah tercermin pula dalam transaksi QRIS di beberapa bank. Bank Jatim (BJTM) mencatat, nominal transaksi QRIS Merchant mencapai Rp176,30 miliar pada Juni 2024, namun turun menjadi Rp127,91 miliar pada Juli, dan hanya naik tipis menjadi Rp130,51 miliar pada Agustus.Direktur Utama Bank Jatim Busrul Iman menjelaskan, meskipun transaksi QRIS Agustus masih lebih tinggi dibandingkan Januari yang hanya Rp76,11 miliar, tren penurunan terjadi sejak Juni hingga Agustus. Hal ini beriringan dengan deflasi inti yang terjadi selama empat bulan beruntun sejak Mei.Serupa dengan Bank Jatim, Bank Oke Indonesia (DNAR) atau OK Bank Indonesia juga mengalami penurunan pada tabungan yang terhimpun, sekitar 12% secara tahunan. Direktur Kepatuhan OK Bank Efdinal Alamsyah menyatakan, menurunnya daya beli membuat nasabah mengalihkan pengeluaran mereka ke kebutuhan dasar atau barang yang lebih esensial.

Kredit Ritel Terdampak

Dampak penurunan kelas menengah juga terlihat pada kredit ritel di Bank BCA (BBCA), sebagai bank swasta terbesar di Indonesia. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengakui bahwa kredit ritel terdampak, meskipun transaksi QRIS atau debit masih terjaga.Namun, Jahja menegaskan bahwa kredit konsumsi seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) di BCA tetap bertumbuh karena bunga yang rendah. Menurutnya, KPR dan KKB masih menjadi pilihan konsumen kelas menengah yang ingin memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan kendaraan.Direktur Utama BJB Yuddy Renaldi juga menyampaikan bahwa frekuensi transaksi nasabah di BJB masih bertumbuh, namun nilainya telah menurun. Hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat kelas menengah memang semakin tertekan.

Prospek Ekonomi yang Suram

Fenomena penurunan kelas menengah ini menjadi indikator yang cukup mengkhawatirkan bagi prospek perekonomian Indonesia ke depan. Ketika daya beli kelas menengah terus menurun, maka akan berdampak luas pada sektor-sektor lain, seperti konsumsi, investasi, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.Penurunan konsumsi kelas menengah dapat memicu perlambatan aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Hal ini sangat berbahaya, mengingat kelas menengah merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi penurunan kelas menengah ini. Upaya-upaya pemberdayaan, peningkatan daya beli, dan pengembangan sektor-sektor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi harus menjadi prioritas utama.