Pada hari Selasa, 11 Maret 2025, mata uang rupiah mengalami penurunan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penurunan ini terjadi seiring dengan munculnya proyeksi ekonomi AS yang kurang menguntungkan, dikenal sebagai "Trumpcession". Kondisi ini mempengaruhi tidak hanya rupiah tetapi juga beberapa mata uang regional lainnya. Situasi ini menimbulkan sentimen risk off di pasar global, menyebabkan investor asing melepas aset dalam rupiah, khususnya di sektor saham.
Dalam suasana ekonomi yang tak menentu, kurs rupiah melorot hingga mencapai Rp16.430 per dolar AS pada pukul 10:53 WIB, menjadi posisi terendah sejak 4 Maret 2025. Meskipun indeks DXY, yang mengukur kekuatan dolar AS, turun 0,19% ke angka 103,77, pelemahan rupiah tetap signifikan. Menurut Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto, faktor utama di balik situasi ini adalah perkiraan ekonomi AS yang semakin mendekati stagflasi atau bahkan resesi.
Bank Indonesia telah berkomitmen untuk tetap aktif di pasar dengan menggunakan strategi triple intervension, melalui DNDF, pasar spot, dan pembelian SBN di pasar sekunder. Langkah ini bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengurangi dampak negatif dari situasi ekonomi global.
Dari perspektif seorang jurnalis, laporan ini mengingatkan kita akan pentingnya ketahanan ekonomi nasional. Perubahan ekonomi global dapat berdampak langsung pada mata uang lokal, sehingga kebijakan moneter yang kuat dan responsif sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Selain itu, penting bagi pemerintah dan bank sentral untuk terus memantau dan merespons dinamika pasar secara cepat dan efektif.