Perubahan dalam peraturan DPR dapat mempengaruhi kemerdekaan lembaga kehakiman. Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) memberikan wewenang kepada DPR untuk mengevaluasi dan mencopot pejabat negara, termasuk hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Hal ini berpotensi mengubah dinamika hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Pemberian kewenangan baru kepada DPR untuk mengevaluasi dan mencopot pejabat negara dapat merusak independensi sistem hukum. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, menegaskan bahwa proses evaluasi yang mudah oleh DPR terhadap hakim dapat memicu politisasi hukum. Ia menjelaskan bahwa potensi politisasi pengadilan akan sangat besar jika DPR memiliki wewenang untuk mengevaluasi dan mencopot hakim kapan saja. Situasi ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi. Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga ikut menurun.
Djayadi menyarankan agar DPR fokus pada tugas pokok sebagai lembaga legislatif. Politisasi hukum tidak hanya merusak integritas sistem hukum tetapi juga mengganggu legitimasi pemerintahan. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk menjalankan tugasnya tanpa mencampuri urusan lembaga kehakiman. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan pemerintah dapat dipertahankan, serta mendukung terciptanya lingkungan hukum yang adil dan bebas dari intervensi politik.