Langkah keras pemerintahan Trump terhadap mitra dagangnya, khususnya di Asia, menciptakan situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam perdagangan internasional. Tindakan ini tidak hanya mempengaruhi negara-negara yang dikenai tarif tinggi tetapi juga berdampak luas pada pasar modal global.
Saham Nikkei Jepang merasakan dampak langsung dari kebijakan tersebut dengan anjloknya nilai hingga 4,6% di sesi perdagangan awal. Ini merupakan level terendah selama delapan bulan terakhir, mencerminkan ketidakpastian investor terhadap prospek ekonomi Jepang di tengah eskalasi sengketa dagang.
Tarif impor sebesar 24% yang diterapkan AS kepada produk-produk Jepang menjadi salah satu faktor utama penurunan ini. Industri manufaktur Jepang, yang sangat bergantung pada ekspor, diprediksi akan mengalami perlambatan produksi dan penjualan. Para analis memperkirakan bahwa jika kondisi ini berlanjut, pertumbuhan ekonomi Jepang bisa melambat hingga 0,5% pada semester kedua tahun ini.
Korea Selatan juga tidak luput dari serangan tarif impor AS. Indeks Harga Saham Gabungan Korea (KOSPI) turun hingga 1,46%, mencatatkan penurunan tajam sejak awal Januari. Sektor teknologi, yang menjadi andalan ekonomi Korea Selatan, terkena imbas langsung karena banyak komponen elektronik mereka diekspor ke AS.
Dengan tarif 25% yang diberlakukan atas produk Korea Selatan, industri semi konduktor dan elektronik konsumen seperti Samsung dan LG Electronics kemungkinan besar akan menghadapi tantangan besar. Para pelaku usaha lokal mulai mempertimbangkan strategi diversifikasi pasar untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Pasar saham Tiongkok ikut merosot akibat pemberlakuan tarif impor sebesar 34%. Mata uang yuan jatuh ke level terendah dalam tujuh minggu, menunjukkan adanya tekanan signifikan terhadap stabilitas moneter negara tersebut. Pertikaian dagang antara Tiongkok dan AS semakin memanas, mengancam pemulihan ekonomi yang baru saja dimulai.
Tiongkok, sebagai produsen barang-barang elektronik terbesar di dunia, menghadapi beban tambahan dengan total pungutan impor mencapai 54%. Hal ini membuat produk-produk Tiongkok kurang kompetitif di pasar global dan berpotensi menurunkan volume ekspor secara signifikan. Pemerintah Tiongkok saat ini sedang mengevaluasi langkah-langkah balasan yang dapat diambil tanpa memperburuk situasi ekonomi domestik.
Vietnam menjadi salah satu korban terberat dengan tarif impor sebesar 46%. Negara ini yang belakangan ini menjadi destinasi investasi favorit bagi perusahaan multinasional kini harus menghadapi tantangan besar. Penurunan daya saing produk Vietnam di pasar AS dapat memengaruhi laju pertumbuhan ekonominya yang pesat selama beberapa tahun terakhir.
Sebagai respons terhadap tarif tinggi ini, Vietnam mungkin perlu melakukan restrukturisasi industri manufaktur agar lebih fokus pada pasar domestik atau negara-negara lain di Asia Tenggara. Namun, langkah ini membutuhkan waktu dan investasi besar, sehingga dampak jangka pendek tetap dirasakan oleh para pelaku usaha lokal.