Jakarta, CNBC Indonesia – Sebagian besar dari Anda mungkin tertarik untuk mendapatkan pendapatan pasif dari investasi yang berjumlah besar. Dan bukan rahasia lagi bahwa P2P lending dan deposito bank digital menawarkan imbal hasil yang cukup menarik.
Dalam dunia investasi itu sendiri, imbal hasil dan risiko merupakan suatu hal yang berbanding lurus. Setiap investasi yang bisa Anda pilih tentu akan mengandung risiko yang cukup beragam.
Melansir data yang dikumpulkan oleh tim riset CNBC Indonesia, imbal hasil deposito bank digital bisa mencapai 9% per tahun. Sementara beberapa platform P2P lending berani menawarkan pendanaan dengan imbal hasil di atas 10% per tahun.
Baik deposito bank digital maupun P2P lending umumnya juga memberlakukan sistem penguncian dana. Alhasil, nasabah atau pendana hanya bisa mencairkan modalnya saat jatuh tempo, hal ini tentu sangat berbeda dengan deposito bank umum yang bisa ditarik kapan saja.
Patut diketahui bahwa, secara garis besar risiko P2P lending memang lebih tinggi daripada bank digital. Akan tetapi, beberapa hal di bawah ini mungkin bisa membantu Anda untuk menentukan pilihan investasi tersebut ke depan.
Simpanan deposito umumnya dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), selama tingkat bunga deposito yang ditawarkan masih sesuai atau di bawah di Tingkat Bunga Penjaminan LPS. Jika lebih dari itu, maka penyelesaiannya akan diselesaikan oleh tim likuidasi bank.
Namun bicara soal P2P lending, mitigasi risiko gagal bayar seringkali disebut bakal diatasi oleh asuransi kredit. Akan tetapi, pendana tentu harus memahami seluk-beluk ketentuan yang ada lantaran akan tetap ada risiko yang bakal dihadapi terkait hal yang satu ini.
Terkadang, platform P2P lending mengkategorikan pendanaan berdasarkan risikonya. Beberapa di antaranya menawarkan imbal hasil tinggi, namun tidak disertai asuransi.
Mengacu pada pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan no. 69 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial, bunga yang diterima lender menjadi objek PPh.
Jika lender adalah wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, bunga yang diterima lender akan dipotong PPh sebesar 15%.
Sementara itu jika lender adalah wajib pajak luar negeri, maka penghasilan bunga akan dipotong PPh 26 dengan tarif 20%.
Di sini, lender akan menyetorkan PPh secara mandiri ke negara dan melakukan pelaporan lewat Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Adapun penghasilan dari pendanaan ini dilaporkan di bagian Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya.
Hal itupun menyebabkan penghasilan pendanaan P2P lending akan diakumulasi dengan pendapatan lain, dan pendana pun akan dikenakan tarif progresif.
Lain halnya dengan deposito yang pajaknya bersifat final, meski besarannya adalah 20% dari pendapatan bunga.
Seperti diketahui, selain deposito dan P2P lending masih ada instrumen investasi lain yang menghasilkan pendapatan pasif secara rutin tanpa adanya risiko gagal bayar. Penasaran? Anda mempelajarinya di Kelas Cuan, Belajar Investasi dari 0 Agar Hidup Gak Serba Ngutang dan Makan Tabungan.
Acara akan diselenggarakan pada 27 Juli 2024 secara online. Anda bisa langsung mendaftarkan diri di sini.
(aak/aak)