Kredit Macet UMKM Tinggi, Usul Jokowi Soal Restruk Bakal Disetujui?

Jul 23, 2024 at 10:50 AM




Jakarta, CNBC Indonesia – Belum ada kejelasan terkait rencana perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengusulkan agar program restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 diperpanjang hingga 2025 usai Sidang Kabinet, Senin (24/6/2024) lalu.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beberapa kali menanggapi bahwa menegaskan program tersebut sudah berakhir pada 31 Maret 2024 lalu, seraya memaparkan bahwa perbankan RI saat ini memiliki pencadangan yang memadai.

Kemudian pada hari Jumat lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto restrukturisasi yang diperpanjang untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR). Ia mengatakan untuk pelaksanaannya pemerintah menyerahkan hal tersebut ke masing-masing bank.

Adapun pada tanggal program tersebut berakhir, industri perbankan mencatat laba Rp 61,87 triliun, hanya naik 2,02% secara tahunan (yoy).

Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai bahwa program restrukturisasi kredit Covid-19 telah terbukti berhasil untuk menjaga kinerja bank pada saat masa pandemi. Namun, setelah dicabut, kinerja perbankan pun kompak tertekan.

“Kita lihat memang tekanan kepada kinerja bank, terutama untuk menjaga NPL, kinerja bank yang bagus, juga sepertinya agak susah bagi perbankan,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, belum lama ini.

Ia berharap dengan perpanjangan program tersebut, diharapkan dapat mampu membantu kinerja perbankan RI.

Sebab, meskipun perbankan sudah membentuk pencadangan yang memadai, Trioksa melihat “sepertinya memang masih belum mencukupi untuk bisa menjaga NPL yang relatif dapat dijaga rendah.”

Tercatat, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) gross naik dari 2,25% pada bulan Maret menjadi 2,33% per bulan April, dan naik lagi menjadi 2,34% pada bulan Mei. Secara spesifik, NPL gross sektor UMKM pada bulan Mei 2024 tercatat tinggi, yakni sebesar 4,27% naik tipis dari sebulan sebelumnya, 4,26% pada April 2024.

Tingginya NPL tersebut tampaknya ikut menjadi salah satu alasan lemahnya pertumbuhan kredit di sektor UMKM. Mengutip data OJK, pertumbuhan kredit UMKM pada April 2024 hanya berada di angka 7,30% atau jauh dibawah kredit korporasi (18,45%) dan konsumsi (10,34%).

Di tengah penurunan tersebut, muncul isu bahwa sejumlah bank ingin membatasi penyaluran kredit usaha rakyat (KUR), bahkan ada yang ingin berhenti. Menanggapi hal itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan bahwa pihaknya bersama pemerintah secara berkala terus melakukan evaluasi baik kompetensi, dan kondisi para Bank Penyalur.

“Sehingga dalam perjalanannya dimungkinkan suatu penyesuaian, alokasi ataupun penghentian penyaluran mengingat implementasi program menekankan tidak hanya berfokus terhadap peningkatan penyaluran namun juga berfokus terhadap efektifitas program dalam mendorong keberlangsungan UMKM di Indonesia secara jangka panjang,” ujarnya dalam jawaban tertulisnya belum lama ini.

Reaksi Bankir Beragam

Bankir juga memberikan reaksi yang beragam terhadap usulan ini. Sebagian besar menyebut kebijakan ini baik untuk membantu pembiayaan UMKM, tetapi sebagian juga mengkhawatirkan terjadinya moral hazard.

Direktur Utama Bank Mandiri (BMRI) Darmawan Junaidi mengatakan keputusan baik untuk mendukung usaha kecil menegah (UKM). Ini juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah RI. Namun, ia kemudian mengakui bahwa permintaan perpanjangan relaksasi kredit di bank pelat merah itu tidak banyak.

Sama halnya dengan Direktur Kredit Bank Danamon Indonesia (BDMN) Dadi Budiana, yang mengatakan sudah tidak ada lagi debitur yang membutuhkan di bank milik MUFG itu. Namun, ia menyebut bahwa masih ada bank lain mungkin masih membutuhkan.

Sementara itu, Presiden Direktur Bank CIMB Niaga (BNGA) Lani Darmawan mengatakan usulan kebijakan tersebut baik bagi perbankan apabila dibutuhkan. Ia mengungkapkan bahwa program relaksasi di bank swasta terbesar kedua RI itu juga sudah berakhir, dan debitur penerima stimulus tersebut tersisa sedikit.

Sedangkan Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) Royke Tumilaar merespon, tanpa kebijakan perpanjangan restrukturisasi kredit tersebut, pihaknya akan tetap melakukan perpanjangan relaksasi.

“Ini mungkin saya rasa restru tetap jalan. Ngga perlu seperti pakai kebijakan relaksasi covid, kalau punya prospek kita pasti akan lakukan relaksasi,” ujarnya saat rapat dengan Komisi VI di gendung DPR RI di Jakarta, Senin (8/7/2024) lalu.

Di sisi lain, Direktur Bank Oke Indonesia (DNAR) Efdinal Alamsyah menyebut ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pemerintah melakukan perpanjangan. Antara lain, ia menilai perpanjangan yang terlalu lama bisa menciptakan moral hazard.

Dalam hal ini, debitur tidak memiliki insentif untuk memperbaiki kondisi keuangan mereka karena adanya harapan bahwa akan terus ada keringanan. Efdinal mengatakan alasan lain bisa jadi hal ini akan menjadi penundaan masalah.

“Alih-alih menyelesaikan masalah, restrukturisasi kredit yang berkepanjangan bisa hanya menunda masalah. Jika debitur tidak mampu memulihkan bisnis mereka, kredit macet bisa meningkat setelah masa restrukturisasi berakhir,” jelasnya saat dihubungi CNBC Indonesia, dikutip Selasa (23/7/2024).

Efdinal melanjutkan, perpanjangan stimulus ini juga dapat menjadi beban bagi perbankan. Ia mengatakan bank mungkin akan menghadapi beban finansial yang berat jika terus-menerus harus menanggung kredit yang direstrukturisasi, yang pada akhirnya bisa mengganggu profitabilitas dan kemampuan bank untuk memberikan kredit baru.

“Jadi perpanjangan stimulus restrukturisasi kredit bank benar-benar harus memperhatikan kondisi ekonomi saat ini, tingkat pemulihan sektor-sektor yang paling terdampak, dan kapasitas sistem perbankan untuk menyerap risiko tambahan,” imbuh Efdinal.

(ayh/ayh)

Saksikan video di bawah ini:

Bukan Diperpanjang, Ini Saran Perbanas Soal Restrukturisasi Kredit!



Next Article



OJK Setop Restrukturisasi Kredit Covid-19, Ini Kata Bankir